Jumat, 18 November 2016

Peran teknologi Informasi terhadap budaya menulis

Saya merasa, menumbuhkan minat menulis adalah salah satu misi pendidikan yang paling utama. Ingat tidak, ketika SD kita seringkali diminta menyiapkan buku catatan untuk setiap pelajaran (terpisah) dan mengumpulkannya secara berkala. Guru berupaya meng-utuhkan proses pembelajaran dengan memastikan naradidiknya menulis setiap ilmu yang diterima. Ia percaya, bahwa aktifitas menulis kembali, parafrase, adalah titik awal pemahaman sebuah ilmu. Ia juga menyadari, bahwa membaca catatan sendiri setelah proses belajar akan menstimulasi kerja otak untuk bisa melekatkan pemahaman Bukan karena medianya (buku tulis) tapi aktivitas menulisnya yang menjadi sangat penting.


Bagi saya, perkembangan teknologi informasi nyata-nyata menggugurkan minat dan kemampuan menulis. Piranti kerja semacam komputer dengan software perkantorannya, tidak (belum) mampu mengakomodir proses belajar menulis, bahkan lebih buruk lagi, menimbulkan budaya baru yang bagi saya berbahaya, menimbulkan efek kecanduan dan berujung kebodohan, yakni copy paste.

Mirip dengan pornografi ataupun narkoba, aktifitas copy paste menghasilkan efek nikmat sesaat, yang akan terus menjadi solusi fiktif bagi masalah yang dialami. Bahkan saya menemukan, penderita penyakit kopas bisa segera marah jika hasratnya tidak segera terpenuhi. 

Contoh kasus sederhana, ada blog yang isinya membagi tips yang berguna untuk menyelesaikan masalah tertentu, yang merupakan materi pembelajaran di sekolah atau universitas. Konten sangat lengkap, lugas dan tuntas, namun, tidak bisa di copy paste. kita lihat respon dari pengunjungnya


Bahkan ada yang lebih ekstrem, 




Hal ini, sebagai salah satu bukti keengganan menulis sebagai yang sedikit banyak menggambarkan mental pembelajar yang dimiliki (sebagian) naradidik kita. Sebagian orang mengatakan, kemajuan adalah kerusakan dalam bentuk yang lain, ketidakmampuan menulis adalah salah satu contohnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar